Senin, 19 Maret 2012

Kemiri sunan

Kemiri sunan, nama lain ; kemiri minyak, muncang bandung, jarak banten dsn sebagainya.
Morphologi;
Tinggi tanaman mencapai 15 meter, lebar kanopi dapat mencapai 8 metet
DICOTYL dengan jumlah cabang yang banyak, jumlah pucuk dsun yang dapat mencapai 30.000 pucuk
Buah terletak diujung ranting, jumlah buah 5-7buah per tandan, tiap buah terdapat 3biji dgn berat masing-masing biji sekitar 8g. Bila persentase pucuk berbuah 60% atau 18000 buah, berarti diperoleh biji sebanyak 54000 biji dengan berat 324 kg biji. Bila kernel 80% dari biji atau 260 kg kernel dengan minyak sekitar 50%, maka tiap pohon menghasilkan 130 kg atau 100 liter minyak kasar.Bila 1ha terdapat 143 pohon maka produksi minyak per hs mencapai 14.300 litet. Potensi yang cukup baik untuk sumber bahan baku biodiesel

Selasa, 13 Maret 2012

lateks dari karet

Sebenarnya lateks itu bagi tanaman karet untuk apa.
Ada tanaman karet yang hasil lateksnya rendah tapi pertumbuhan batangnya cepat sehingga dikenal sebagai jenis karet penghasil kayu. Ada tanaman karet yang menghailkan lateks lebih banyak namun pertumbuhan batangnya tidak secepat tanaman karet yang lain, dikenal dengan jenis karet penghasil lateks. Ada tanaman karet yang cepat petumbuhannya dengan hasil lateks yang juga tinggi, dikenal sebagai tanaman karet penghasil lateks dan kayu.
jangan-jangan lateks itu memang pemberian ALLAH buat manusia melalui tanaman karet. Jadi berbaik-baiklah dengan tanaman karet  

Minggu, 04 Maret 2012

KAKAO, KOPI DAN KARET
MANDAT BARU BALITTRI ?

          Balittri kembali bermetamorposa menyempurnakan diri menjadi lembaga penelitian yang makin penting dan diperlukan masyarakat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian (Mentan) No.785/kpts/pd.300/2/2009, komoditi perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, karet, kopi, teh, tebu dan kina, yang selama ini hanya menjadi mandat penelitian di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) juga menjadi komoditi penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan di bawah unit organisasi Badan Litbang Pertanian. Selanjutnya hasil penelitian Badan Litbang Pertanian diutamakan melayani kebutuhan teknologi untuk masyarakat, sedangkan LRPI yang berganti nama menjadi RPN menjadi lembaga riset yang berorientasi pada profit di bawah unit organisasi Kementarian Badan Usaha Milik Negara( Kemen BUMN). 

Komoditi yang baru bagi Badan Litbang ini, melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dalam pelaksanaannya didistribusikan ke Balai-balai lingkup Puslitbang Perkebunan, Balittri mendapat tugas untuk kakao, kopi dan karet, sedangkan komoditi rempah yang selama ini diteliti kembali diserahkan kepada Balittro. Penambahan komoditi kakao, kopi dan karet dan pengurangan komoditi rempah, menyebabkan perlunya penyesuaian nama bagi Balittri yaitu menjadi Balai Penelitian Tanaman Penyegar dan Tanaman Industri dengan singkatan tetap Balittri. 

Tanaman kakao, kopi dan karet merupakan tanaman perkebunan yang cukup penting dengan luas mencapai 6.288.641 ha, atau 39,30% dari luas total real perkebunan. Ketiga tanaman ini sebagian besar merupakan perkebunan rakyat ( 89,38%) dengan rata-rata kepemilikan masing-masing untuk kakao 1,01 ha/kk; kopi 0,83 ha/kk; dan karet 1,40 ha/kk (Tabel 1).
Tabel 1. Luas areal kakao, kopi dan karet di Indonesia tahun 2009

Komoditas
Luas perkebunan (ha)
Jumlah (ha)
Jumlah petani (kk)
Negara
Swasta
Rakyat
kakao
49.489
45.839
1.491.808
1.587.136
1.475.353
Kopi
22.794
25.935
1.217.506
1.266.235
1.467.090
Karet
239.375
284.362
2.911.533
3.435.270
2.077.450
Jumlah
5.620.847
6.288.641
 Sumber: Statistik Perkebunan 2008-2011 

        Bila setiap KK terdiri dari 5 orang, maka jumlah orang yang tergantung kehidupannya dengan usahatani kakao, kopi dan karet mencapai 10.387.250 orang, jumlah ini belum termasuk jumlah orang yang terlibat sebagai pengusaha, pekerja pada prosesing dan buruh tani di perkebunan. Kondisi perkebunan kakao, kopi dan karet tersebut di atas memberikan gambaran bahwa pembinaan ketiga komoditi ini memang sebaiknya ditujukan pada petani pekebun, demikian juga teknologinya disesuaikan dengan kemampuan petani untuk mengadopsinya. 

        Perkembangan luas areal terutama kakao dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir cukup menggembirakan, sedangkan kopi dan karet tidak banyak mengalami perubahan (Gambar 1). Meningkatnya luas areal kakao disebabkan oleh adanya gerakan nasional pengembangan kakao terutama di daerah sentra produksi. Sedangkan tidak meningkatnya areal kopi dan karet disebabkan oleh kedua tanaman ini merupakan tanaman kearifan lokal dan tidak ada pengembangan di daerah baru.

         Untuk perkembangan produksi, terbesar terjadi pada karet (Gambar 2), walaupun luas areal tidak banyak mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 produksi karet sebesar 1.501.428 ton pada tahun meningkat menjadi 2.591.935 ton atau meningkat sebesar 72,63%. Peningkatan produksi karet tersebut terjadi sebagian besar disebabkan oleh keberhasilan meningkatkan produktivitas tanaman karet (Tabel 3). 


        Produktitivtas tanaman karet pada tahun 2000 sebesar 0,45 ton/ha/tahun, meningkat menjadi sebesar 0,75 ton/ha/tahun pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 66,67%. Keberhasilan ini disebabkan oleh dihasilkannya varietas-varietas baru seperti ....... yang
Keberhasilan peningkatan produktivitas karet belum diikuti oleh membaiknya produktitivtas komoditi kopi dan karet yang tidak mengalami perubahan dalam sepuluh tahun terakhir (gambar 3).
Kondisi komoditi kakao, kopi dan karet di atas merupakan dasar awal untuk Balittri melangkah sebagai pemegang tupoksi yang baru.
PEREMAJAAN KELAPA SAWIT

      Indonesia saat ini merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas areal 7 juta ha dan produksi 19,2 juta minyak sawit (CPO). Oleh sebab itu peranan agribisnis kelapa sawit sangat penting artinya bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008, ekspor CPO mencapai 14,3 juta ton dengan nilai US$ 12,4 milyar. Negara juga memperoleh pendapatan dari PE (Pungutan Ekspor) CPO, tahun 2008 sebesar Rp 13,5 triliyun. Memberikan lapangan kerja sekitar 3,5 juta Kepala Keluarga (KK) mulai dari on-farm sampai off-farm. Disamping itu, minyak sawit merupakan sumber bahan baku industri utama di Indonesia, baik untuk kebutuhan pangan (minyak goreng) maupun untuk kebutuhan oleo-chemical. Di masa depan, minyak sawit semakin penting sebagai sumber bahan bakar nabati (bio-fuel), seiring dengan semakin langkanya bahan bakar dari fosil (BBM).
 

Pertumbuhan luas areal pertanaman kelapa sawit Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mencapai 3,40 % per tahun atau sekitar 250.000 ha. Namun produktivitas pada kurun waktu tersebut mengalami penurunan sebesar 0,85% per tahun. Penurunan produktivitas tersebut disebabkan antara lain; semakin luasnya pertanaman kelapa sawit rakyat yang tidak menggunakan benih unggul dan makin meningkatnnya pertanaman kelapa sawit rakyat berumur tua (>25 tahun). Luas pertanaman kelapa sawit rakyat saat ini mencapai 3 314 663 ha, dimana 35% diantaranya sudah berumur tua yang dibuka secara besar-besaran pada tahun 1980-an. Saat ini produktivitas kelapa sawit rakyat hanya mencapai lima ton tandan buah segar (TBS), sedangkan potensinya dapat mencapai minimal 15–20 ton/ha/thn. Pertanaman kelapa sawit swasta dan milik pemerintah masih dapat mempertahankan produksinya sekitar 18–30 ton TBS/ha/thn melalui perencanaan peremajaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Negara Malaysia yang mampu melakukan peremajaan secara berkala seluas 200.000 ha per tahun. Sedangkan pertanaman kelapa sawit rakyat tidak mampu melakukan peremajaan dengan biaya sekitar Rp. 30 juta per hektar. Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa tindakan peremajaan maka pada lima tahun mendatang, posisi Indonesia sebagai penghasil nomor satu kelapa sawit akan bergeser.

      Di lapangan saat ini, terutama di daerah Kabupaten Rokan Hilir, Riau, beberapa petani telah melakukan peremajaan secara under planting, yaitu peremajaan yang dilakukan dengan menanam benih kelapa sawit di bawah pohon sawit tua dengan jarak 1 m dari pangkal batang. Sedangkan pada tanaman tua dilakukan pembunuhan secara berlahan-lahan dengan menyuntikan herbisida ke dalam batangnya, sehingga panen tetap dilakukan sampai tanaman benar-benar mati. Cara ini tidak melakukan menumbangan pohon, pohon mati secara berlahan-lahan, daun dan pelepah gugur satu persatu dan akhirnya tinggal batang tanpa daun. Cara ini dapat mengurangi biaya penumbangan pohon yang besarnya mencapai Rp. 3 juta per ha dengan menggunakan alat berat sedangkan bila dilakukan secara manual dapat mencapai Rp. 7 juta per ha. Namun pertumbuhan tanaman sawit sedikit lambat, disebabkan oleh adanya naungan selama pohon tua masih hidup. Selain intu cara under planting tetap menghilangkan pendapatan petani dari hasil tanaman kelapa sawitnya, karena tanaman tua tidak menghasilkan, sementara kelapa sawit muda belum berproduksi. Dua masalah ini yang menyebabkan cara peremajaan under planting tidak berkembang dengan baik di tengah masyarakat.


     Peremajaan secara bertahap merupakan alternative untuk menghindari kehilangan pendapatan dari penebangan tanaman tua sebelum tanaman muda menghasilkan. Peremajaan cara bertahap, membagi areal menjadi tahapan-tahapan peremajaan. Apabila peremajaan akan di dilakukan selama 3 tahap, maka areal yang akan diremajakan dibagi 3. Umumnya petani mempunyai lahan pertanaman sawit seluas 2 ha atau 21 lajur tanaman x 14 baris tanaman, lahan dapat dibagi menjadi 7 lajur tanaman x 14 baris tanaman setiap tahunnya, lamanya peremajaan menjadi 3 tahun. Peremajaan dilakukan pada tanaman tua sebanyak 7 lajur x 14 baris, tanaman ditumbang sehingga lahannya terbuka, lahan terbuka ini ditanami dengan benih sawit muda. Penanaman sawit muda ini dapat ditumpang sarikan dengan tanaman palawija seperti kacang tanah, kedele atau jagung. Dengan demikian dari tanaman tua yang belum diremajakan yaitu 14 lajur x 14 baris tanaman, petani masih memperoleh penghasilan, bila dilakukan pemupukan berat, malah produksi dapat tetap sama dengan sebelumnya. Selain itu petani juga dapat memperoleh tambahan pendapatan dari penanaman tanaman sela.(Yulius Ferry dan Maman Herman)

Sabtu, 03 Maret 2012

PROSPEK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN LADA HIJAU DI PETANI
Juniaty Towaha dan Yulius Ferry
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri

RINGKASAN
Di pasar internasional selain lada putih dan lada hitam dikenal pula produk-produk lada yang lain seperti lada hijau, lada jingga, lada serbuk, oleoresin lada dan minyak lada. Sampai saat ini produk lada Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk lada hitam dan lada putih, adapun produk lada hijau hanya menempati porsi kecil dari total ekspor lada Indonesia, padahal pangsa pasar lada hijau masih cukup terbuka lebar dan harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan lada hitam maupun lada putih. Lada hijau memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh jenis produk lada lainnya, yaitu memiliki flavour yang khas, warna dan kenampakannya alami sehingga selain dapat dipergunakan sebagai rempah, juga dapat dipergunakan sebagai bahan hiasan pada makanan. Dengan tingkat teknologi yang mudah di adopsi oleh petani, maka peluang pengembangan lada hijau pada skala rumah tangga petani memiliki prospek yang cukup cerah, disamping sebagai produk alternatif yang dapat meningkatkan daya serap pasar, produk ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah pendapatan bagi petani lada.
Kata kunci : Teknologi, pengolahan, lada hijau, petani 

TECHNOLOGY OF GREEN PEPPER PROCESSING FOR FARMER
ABSTRACT
In international markets other than white pepper and black pepper is also known other products such as green pepper, orange pepper, pepper powder, oleoresin of pepper and pepper oil. Pepper product from Indonesia is still predominantly exported in black and white pepper, while green pepper only a small portion of total exports of Indonesian pepper, and green pepper market is still fairly wide open and are more expensive when compared with black pepper and white pepper. The green pepper have comparative superiority than others product, that is special flavour, color and natural appearance, with the result that able to make used of spices and as food garnishing. With the easy level of technology in the adoption by farmers, then the opportunity of developing a green pepper on the scale of farmer home industry have a fairly good prospects, as well as alternative products that can increase market absorption, this product is also expected to increase the farmers income.
Keywords: technology, processing, green pepper, farmers

PENDAHULUAN
Lada hijau merupakan salah satu hasil olahan dari lada, harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan lada hitam, lada putih dan lada bubuk. Lada hijau dapat diproduksi oleh petani dalam bentuk usaha industri rumah tangga, dengan demikian pendapatan petani lada meningkat dibandingkan hanya menghasilkan lada hitam atau lada putih.


Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman rempah yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi Indonesia, dikarenakan selain sebagai sumber pendapatan petani juga merupakan salah satu sumber devisa negara. Sebagai penghasil devisa, lada menempati urutan ke empat setelah minyak sawit, karet dan kopi, dengan nilai ekspor lebih dari 140,31 juta dollar Amerika Serikat. Adapun pertanaman lada di Indonesia pada tahun 2009 telah mencapai luasan 185.941 Ha (Ditjenbun, 2010), dengan sentra produksi terdapat di propinsi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Ditjenbun, 2010).

Sebagai pengekspor lada dunia, pada tahun 2000 Indonesia masih menduduki peringkat pertama sebagai negara pengekspor lada hitam dan lada putih, tetapi sejak tahun 2001 produksi serta ekspor lada Indonesia cenderung mengalami penurunan dan pada beberapa tahun terakhir angka produksi dan ekspor Indonesia mengalami penurunan yang cukup serius, sehingga peringkat Indonesia sebagai negara pengekspor lada turun ke peringkat ke dua setelah Vietnam (Idris dan Haryanto, 2007). Selain disebabkan fluktuasi produksi lada, penyebab utama menurunnya ekspor lada Indonesia diantaranya disebabkan bervariasinya mutu lada yang dihasilkan, meningkatnya standar mutu yang dikehendaki negara-negara konsumen, dan munculnya negara penghasil lada baru yang perkembangannya sangat pesat seperti Vietnam. Namun pada beberapa tahun ini terjadi perkembangan yang sangat menggembirakan, dimana perkembangan ekspor lada Indonesia selama tiga tahun terakhir ini terus bergerak naik (International Pepper Community, 2009).

Di pasar internasional selain lada putih dan lada hitam dikenal pula produk-produk lada yang lain, yaitu seperti lada hijau, lada jingga, lada serbuk, oleoresin lada dan minyak lada (Yanti dan Nurdjannah, 1997). Yang mana sampai saat ini produk lada Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk lada hitam dan lada putih, adapun produk lada hijau hanya menempati porsi 1,54% dari total ekspor lada Indonesia (BPS, 2002), padahal International Pepper Community (1990 cit Widaningrum dan Marwati, 2007) menyatakan bahwa pangsa pasar lada hijau baru 1,16% dari total produksi lada dunia, dan harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan lada hitam maupun lada putih, gambaran tahun 2006 harga lada hijau mencapai US$ 3,950/kg, sedangkan lada putih bernilai US$ 2,168/kg dan lada hitam bernilai US$ 1,117/kg (Nurdjannah dan Hoerudin, 2008). Oleh karena itu, lada hijau yang merupakan salah satu diversifikasi produk lada, sangat potensial untuk lebih ditingkatkan pengembangannya di Indonesia sebagai usaha untuk meningkatkan pangsa pasar luar negeri, konsumsi dalam negeri, pendapatan petani lada dan meningkatkan nilai ekspor lada. 

Strategi untuk meningkatkan produksi lada hijau adalah dengan mempersiapkan petani menjadi produsen lada hijau selain memproduksi lada hitam dan putih. Menurut Kemala (2006) bahwa diversifikasi produk merupakan salah satu formulasi strategi dalam pengembangan agribisnis lada. Hal tersebut senada dengan pernyataan Nurdjannah (1996) bahwa diversifikasi produk dapat merubah permintaan menjadi lebih elastis untuk meningkatkan daya serap pasar, baik untuk pasar luar negeri maupun dalam negeri.

Walaupun persaingan antara negara produsen lada di pasar internasional tergolong sangat ketat, tetapi peluang produk diversifikasi lada Indonesia untuk bersaing dalam perdagangan lada internasional masih terbuka cukup lebar, hal ini mengingat brand image lada hitam Lampung dan lada putih Muntok sudah dikenal secara luas di pasar internasional, terutama di negara-negara di kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat (Idris dan Haryanto, 2007). Oleh karena itu, peningkatan pengembangan produk lada hijau terutama pada skala rumah tangga petani harus segera dilakukan mengingat potensi pasarnya masih sangat besar, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah pendapatan bagi petani lada.

PRODUK LADA HIJAU
        Lada merupakan bumbu dapur yang populer, dimana dunia kuliner Asia, Eropa, Amerika Serikat hingga Timur Tengah selalu menggunakan lada sebagai pemberi rasa. Sebagai bumbu dapur, peranan lada memang sangat penting, cita rasa pedas dan aroma yang khas terbentuk dengan menambahkan bumbu ini.
        Lada hijau merupakan produk olahan dari lada, dimana warna hijaunya dipertahankan, dan berdasarkan cara pengolahannya dikenal tiga bentuk lada hijau yaitu (1) lada hijau dalam larutan garam (preserved green pepper); (2) lada hijau dalam bentuk kering (dehydrated green pepper); dan (3) lada hijau dalam bentuk beku (freeze dried green pepper). Lada hijau dalam larutan garam dan dalam bentuk beku dapat dipakai langsung pada makanan yang dihidangkan. Adapun lada hijau kering dapat digunakan langsung maupun sebagai rempah di dalam pembuatan makanan, dalam penggunaannya lada hijau kering dapat direndam dahulu dalam air hangat untuk mendapatkan warna hijau segar dan bentuk butir yang menarik (http://www.vuatkerala.org., 2010). Oleh karena itu lada hijau memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh jenis produk lada lainnya, yaitu lada hijau memiliki flavour yang khas, warna dan kenampakannya alami sehingga selain dapat dipergunakan sebagai rempah, juga dapat dipergunakan sebagai bahan hiasan pada makanan.

         Lada hijau telah lama dikenal di Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan beberapa Negara Timur Tengah, selama ini kebutuhan lada hijau di pasaran dunia sebagian besar disuplai oleh Madagaskar sebagai produsen terbesar, kemudian diikuti Brazil dan India (Nurdjannah dan Risfaheri, 1992). Adapun menurut Bank Indonesia (2007) pasar ekspor lada hijau Indonesia selama ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Australia, Belanda, Belgia, Polandia, Jerman, Singapura, Hongkong dan Saudi Arabia. Di beberapa Negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, lada hijau dalam larutan garam maupun lada hijau kering kini menjadi produk favorit, penggunaan produk ini terutama sebagai rempah-rempah yang dapat dijadikan hiasan pada steak atau olahan daging panggang lainnya, steak menjadi lebih lezat dengan taburan lada hijau, begitupun pada semua jenis sup, lada hijau kering memberikan warna, rasa dan aroma yang khas (Mathew, 1993 dan http://www.vuatkerala.org., 2010).
       Produk lada hijau dibuat dari buah lada yang belum matang (slighty immature), dimana ciri buah lada pada tingkat umur ini adalah warna buahnya hijau terang, buah dapat dilumatkan dengan tangan, endocarpnya tidak sempurna tetapi bila ditekan tidak keluar cairan seperti susu, dan biasanya buah lada pada tingkat umur ini tidak terlalu pedas dan buahnya bisa tetap utuh pada waktu diolah (Nurdjannah, 1996). Tingkat kematangan buah lada sangat berpengaruh terhadap mutu lada hijau yang dihasilkan (Nurdjannah et al., 1999). Hal tersebut menurut Pruthi (1992) disebabkan oleh perubahan beberapa komposisi kimia yang terjadi selama proses pematangan, terutama dengan meningkatnya kandungan pati, serat dan piperin. 

       Adapun buah lada yang dipergunakan pada pembuatan lada hijau kering adalah buah lada yang warna hijaunya agak gelap dan sedikit keras (Pruthi, 1992), dimana buah lada seperti itu didapatkan pada waktu 15–20 hari sebelum buah lada matang (Peter, 2003). Selain dipengaruhi tingkat kematangannya, varietas buah lada ikut menentukan mutu produk akhir lada hijau. Verghese (1993) menyatakan bahwa setelah dipanen buah lada sebaiknya langsung diolah, hal ini untuk mencegah terjadinya oksidasi zat polifenol oleh enzim polifenolase yang menyebabkan warna buah lada menjadi coklat, buah lada yang langsung diolah 3-4 jam setelah pemanenan dapat menghasilkan lada hijau dengan mutu yang baik. Dan untuk menghindari penurunan mutu buah lada yang tidak langsung diolah dapat dilakukan perendaman dalam larutan 2% garam dapur selama ± 12 jam, selain dapat mempertahankan mutu buah lada, perendaman ini juga berfungsi menarik kotoran yang ikut terbawa saat pemanenan (Pruthi, 1992).

  Karakteristik dari ke tiga bentuk produk lada hijau tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda, hanya saja kalau dilihat dari segi pengemasan lada hijau kering lebih praktis dan efisien. Adapun karakteristik dari produk lada hijau dalam larutan garam dan lada hijau kering dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik tiga macam produk lada hijau
Jenis lada hijau
Minyak atsiri (% v/b)
Kadar piperin (%)*
Tekstur
Lada hijau larutan garam (kemasan kaleng)
Lada hijau larutan garam (kemasan botol)
Lada hijau kering
4,30
3,30
3,80
7,50
7,10
8,00
basah, sangat lunak, agak asin
basah, sangat lunak, asin
kering, sedikit keras
Sumber : Mathew (1993)
*) berdasarkan berat kering

Kadar minyak atsiri dan piperin merupakan senyawa kimia yang memberikan kontribusi terhadap rasa dan aroma lada hijau, sehingga mutu lada hijau sangat dipengaruhi oleh keberadaan senyawa tersebut (Mathew, 1993 dan Peter, 2003). Di pasar internasional mensyaratkan produk lada hijau mempunyai kandungan minyak atsiri minimal 3% dan kandungan senyawa piperin minimal 7% (http://www.saintmaryspices.com, 2010 dan http://www.pepper_india.com, 2010).

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LADA HIJAU
Dari ketiga jenis produk olahan lada hijau tersebut diatas, yang sangat mungkin dilakukan oleh petani dalam skala rumah tangga adalah (1) produk lada hijau dalam larutan garam yang dikemas dalam botol, dan (2) produk lada hijau kering, karena ke dua produk ini teknologi pengolahannya tidak terlalu sulit untuk diterapkan ditingkat.
Produk lada hijau yang bermutu baik ditandai oleh warnanya yang hijau alami, bentuk relatif utuh, aroma dan rasa mendekati aslinya, bebas dari kontaminasi kotoran dan mikroorganisme (Nurdjannah dan Hoerudin, 2008). Oleh karena itu, dalam setiap proses pengolahannya harus mengacu kepada acuan tersebut diatas.
Bahan baku untuk pembuatan lada hijau berasal dari buah lada yang agak muda, masih berwarna hijau, tetapi sudah mulai keras. Buah yang terlalu muda akan menghasilkan lada hijau yang kisut dan tidak segar, sedangkan yang terlalu tua akan menghasilkan lada hijau yang sangat keras untuk dikonsumsi langsung dan warnanya tidak hijau segar. Di lapangan tanda dari buah lada yang baik untuk bahan baku lada hijau antara lain, warna buah hijau terang, buah dapat dilumatkan dengan tangan, endocarp belum sempurna tapi bila ditekan tidak keluar cairan susu. Biasanya buah lada pada tingkatan ini rasanya tidak terlalu pedasa (Nurdjanah,1996).
1. Lada Hijau Dalam Larutan Garam (preserved green pepper)
Pada umumnya di pasaran produk lada hijau dalam larutan garam ditemukan dalam dua macam kemasan yaitu kaleng dan botol, dimana produk tersebut selama ini diolah oleh pabrik yang merupakan industri besar, akan tetapi di India produk ini banyak dikemas dalam jeriken plastik HDPE (high density poly ethylene) kapasitas 25 kg (http://www.tradeindia.com/, 2010). Adapun teknologi pengolahan lada hijau dalam larutan garam yang nampaknya layak diterapkan pada skala rumah tangga petani adalah kemasan botol kapasitas 100 gr, mengingat lebih praktis dan efisien dalam proses pengolahannya.
Proses penghampaan untuk menghindari maupun mengurangi kelebihan tekanan di dalam kemasan pada waktu sterilisasi, dan juga mengurangi kandungan udara untuk menghindari kemungkinan tumbuhnya mikroorganisme, dimana pada industri besar biasa dilakukan dengan cara pengaliran uap panas, maka pada skala rumah tangga petani penghampaan tersebut dilakukan dengan cara membiarkan tutup botol terbuka pada awal proses sterilisasi. Dan mengenai masalah sterilisasi, dimana pada industri besar sterilisasi dilakukan dengan menggunakan alat autoclave, maka pada tingkat petani dapat dilakukan secara sederhana dengan cara perebusan menggunakan air panas dengan suhu 80-1000 C selama 20-30 menit (Yanti dan Nurdjannah, 1997).
Adapun proses pengolahan lada hijau dalam larutan garam untuk skala rumah tangga petani adalah sebagai berikut :
· Buah lada yang telah dilepas dari tangkainya, dicuci sampai bersih dengan air mengalir, dipisahkan buah lada yang rusak dan mengapung.
· Kemudian buah lada direndam dalam larutan kaporit 50-100 ppm selama 30 menit kemudian dibilas.
· Pembuatan larutan pengawet yaitu campuran garam dapur dan asam sitrat dengan komposisi 10% dan 2%, kemudian dipanaskan pada suhu 800 C. Untuk memperpanjang keawetan lada hijau, pada larutan garam dapur dan asam sitrat tersebut dapat ditambahkan natrium benzoat 0,5%.
· Buah lada yang telah bersih dimasukkan kedalam botol, kemudian dituangkan larutan pengawet sehingga menutupi seluruh permukaan lada.
· Penghampaan pada skala petani dapat dilakukan dengan cara membiarkan tutup botol terbuka pada awal sterilisasi.
· Dilakukan sterilisasi dengan menggunakan air panas suhu 80-1000 C selama 20-30 menit, setelah itu langsung dilakukan pendinginan dengan air mengalir.
· Selanjutnya dapat dilakukan pelabelan.
Komposisi larutan pengawet yang dapat dipakai untuk pembuatan lada hijau terdiri dari larutan garam dan asam sitrat, menurut Widaningrum dan Marwati (2007) hasil uji organoleptik menyatakan panelis paling menyukai lada hijau dalam larutan garam dengan konsentrasi garam dapur 10% dan asam sitrat 2%. Adapun di India komposisi larutan pengawet yang biasa digunakan adalah larutan garam dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 17% ± 2% dan 0,6% ± 2% (http://www.saintmaryspices.com, 2010). Sebetulnya konsentrasi larutan garam dapat diatur tergantung kepada permintaan konsumen, seperti di India dan Sarawak Malaysia diproduksi juga lada hijau kemasan kaleng dengan konsentrasi larutan garam 2% dan lada hijau kemasan botol dengan konsentrasi larutan garam 20% dan asam sitrat 0,2% (http://www.vuatkerala.org, 2008 dan http://www.peladang.sarawak.gov.my, 2010). Untuk lada hijau yang dikemas dalam kaleng, konsentrasi larutan garam yang digunakan biasanya lebih rendah daripada kemasan botol yaitu sekitar 2%, mengingat bahwa sifat kaleng yang korosif terhadap kadar garam tinggi (Pruthi, 1992).
Asam organik dalam larutan pengawet berfungsi sebagai pencegah terjadinya proses pencoklatan buah lada yang disebabkan aktivitas enzim polifenolase (Vergeshe, 1991), dimana dalam aktivitasnya senyawa polipenol dioksidasi menjadi senyawa polimer hidroksikuinon yang membentuk warna coklat (Winarno, 1989 dan Parthasarathy et al, 2008). Buckle et al (1989) menyatakan bahwa reaksi pencoklatan enzimatik dapat dihambat dengan menggunakan senyawa yang bersifat inhibitor (penghambat) terhadap aktivitas polifenolase, dimana senyawa yang bersifat inhibitor tersebut diantaranya adalah senyawa yang bersifat asam, dalam hal ini adalah senyawa asam organik yang aman bagi bahan makanan minuman. Variyar et al (1988) menyatakan bahwa aktivitas enzim fenolase bekerja aktif pada pH 4–8,5 dan optimum pada
pH 7, sehingga apabila pH media diturunkan menjadi < 3 dengan penambahan senyawa asam, maka aktivitas enzim polifenolase menjadi terhambat.
Adapun jenis asam yang digunakan untuk larutan pengawet dapat bervariasi, dilihat dari segi mikrobiologis asam asetat mempunyai sifat sebagai pengawet yang lebih baik bila dibandingkan dengan asam sitrat, tetapi dari retensi warna selama penyimpanan asam sitrat lebih menguntungkan karena memberikan warna hijau yang menarik serta memberikan rasa jeruk yang menyegarkan (Pruthi,1992). Selanjutnya Murni (1991) dan Buckle et al (1989) menyatakan bahwa asam sitrat mempunyai pengaruh penghambatan ganda terhadap enzim polifenolase, yaitu tidak hanya menurunkan pH tetapi juga terjadi ikatan dengan logam Cu pada enzim. Karenanya hal tersebut sesuai dengan pernyataan Risfaheri dan Laksamanahardja (1992) bahwa lada hijau yang diawetkan dalam larutan garam yang diasamkam dengan asam asetat lebih cepat mengalami perubahan warna daripada menggunakan asam sitrat. Ada nilai tambah lain dengan penggunaan asam sitrat, seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986) bahwa asam sitrat merupakan zat antioksidan, sehingga keberadaannya sangat membantu untuk menjaga kesehatan mengingat kemampuannya dalam melawan bahaya radikal bebas.
Untuk memperpanjang masa simpan lada hijau, khususnya yang memakai konsentrasi garam yang rendah, dapat ditambahkan bahan anti kapang dan bakteri untuk pangan (Nurdjannah dan Risfaheri, 1992). Pemakaian natrium benzoate 0,5 % dalam larutan pengawet dapat mempertahankan keawetan lada hijau kemasan botol yang disterilisasi dengan air panas sampai 8 (delapan) bulan penyimpanan (Yanti dan Nurdjannah,1993). Mengingat bahwa senyawa natrium benzoate sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Winarno, 1989).







Dalam larutan kaporit 50–100 ppm selama 30 menit



Larutan garam dapur 10%,
asam sitrat 2%, asam benzoate 0,5%
suhu 800C



Pada awal sterilisasi tutup botol harus dibuka


Gambar 1. Bagan alir pengolahan lada hijau dalam larutan garam
2. Lada Hijau Kering (dehydrated green pepper)
Pengeringan lada hijau dapat dilakukan dengan sinar matahari ataupun dengan pengering buatan/oven (cabinet dryer), akan tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeringan dengan pengering buatan mendapatkan mutu lada hijau kering yang lebih baik daripada dikeringkan dengan sinar matahari.
Hasil penelitian Nurdjannah dan Hoerudin (2008) menunjukkan bahwa evaluasi sensori yang dilakukan pada atribut warna, rasa dan aroma lada hijau kering dengan pengeringan buatan lebih disukai daripada pengeringan dengan sinar matahari. Pengeringan dengan sinar matahari dapat menghilangkan chlorophil dan warna hijau, sehingga pengeringan dengan cabinet dryer memberikan nilai kehijauan yang lebih baik dibandingkan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Dengan demikian cara pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna lada hijau kering yang dihasilkan.
Pada prinsipnya reaksi pencoklatan enzimatik oleh enzim polifenolase membutuhkan sejumlah oksigen (Vergeshe, 1991), sedangkan pengeringan dengan cabinet dryer dilakukan dalam ruangan tertutup yang menghambat masuknya udara luar, sehingga jumlah oksigen yang tersedia dalam ruang pengeringan relatif sedikit. Karenanya dengan keberadaan jumlah oksigen yang relatif sedikit tersebut terjadilah penghambatan reaksi pencoklatan enzimatik, sehingga lada yang dikeringkan memiliki kehijauan yang lebih baik.
Lain halnya bila pengeringan dilakukan dengan sinar matahari, dimana penjemuran dilakukan pada ruang terbuka dengan ketersediaan oksigen yang demikian banyak. Ditambah lagi bahwa proses pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga kontak oksigen dengan fenol terjadi lebih lama. Disamping pengaruh oksigen, air juga sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas enzim, dalam hal ini air berperan sebagai pelarut dan reaktan (Winarno, 1989). Laju penurunan kadar air pada buah lada dalam proses pengeringan dengan sinar matahari berjalan lebih lambat daripada dengan cabinet dryer, sehingga secara demikian proses pencoklatan berjalan lebih aktif pula (Nurdjannah dan Hoerudin, 2008).
Pengering buatan berupa Cabinet Dryer banyak dijual dipasaran dengan harga ± Rp. 13.000.000,-. Pengering cabinet ini terbuat dari aluminium berdimensi 100x50x150 cm dengan jumlah rak 5 buah, mempunyai kapasitas pengeringan ± 60-100 kg sekali proses, dengan sumber energi dapat berupa listrik atau gas LPG atau minyak tanah atau kayu bakar maupun briket, tergantung ketersediaan sumber energi di lokasi petani (http://www.gama_mesin.com, 2010). Pengering sistem kabinet yang dilengkapi termometer untuk memantau suhu ini mampu menyingkat waktu pengeringan daripada memakai sinar matahari, untuk mencapai kadar air lada hijau kering 7–10% dengan pengeringan sinar matahari membutuhkan waktu 2 hari, tetapi apabila menggunakan cabinet dryer hanya membutuhkan waktu hanya 7 jam saja (Vergeshe, 1992 ; Djubaedah et al, 1994 dan Nurdjannah dan Hoerudin, 2008). Dan tentunya penggunaannya cabinet dryer tidak dihambat oleh cuaca, sedangkan pengeringan dengan sinar matahari tidak dapat dilakukan bila cuaca mendung maupun hujan. Sehingga pengeringan dengan cabinet dryer memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan pengeringan sinar matahari. Adapun penyediaan pengering ini bagi petani, dapat dilakukan secara berkelompok melalui kelompok tani, sehingga harga yang harus dibayar per-petani dapat lebih terjangkau.
Untuk lebih menghambat pencoklatan enzimatik (browning) terhadap butiran lada, sebelum proses pengeringan dilakukan perendaman lada dalam larutan asam tartrat 2% selama 60 menit (Nurdjannah dan Hoerudin, 2008). Larutan asam tartrat 2% memiliki nilai pH ± 3, sedangkan aktivitas enzim polifenolase bekerja aktif pada pH 4–8,5 (Variyar et al, 1988), karenanya dengan perendaman tersebut dapat menghambat aktivitas enzim polifenolase, sehingga mampu mempertahankan warna hijau alami buah lada.
Adapun proses pengolahan lada hijau kering untuk skala rumah tangga petani adalah sebagai berikut :
· Buah lada segar yang telah dilepas dari tangkainya dicuci sampai bersih.
· Dilakukan sortasi, memilih lada yang masih berwarna hijau, buah yang rusak dan mengapung dipisahkan.
· Dilakukan blanching yaitu pencelupan dalam air panas, kemudian ditiriskan. Kondisi blanching yang optimum adalah pada suhu 90-100º C selama 15–20 menit, dan untuk mencegah pelunakan buah lada selama blanching dapat ditambahkan CaCl2 1%.
· Selanjutnya dilakukan proses perendaman dalam larutan asam tartrat 2%, dengan lama perendaman yang optimum adalah selama 60 menit.
· Pengeringan dilakukan dengan Cabinet Dryer sampai kadar air lada menjadi 7–10%, dengan lama pengeringan selama 7 (tujuh) jam pada suhu 50-60º C.
· Setelah kering dilakukan sortasi, yaitu biji lada dengan warna yang tidak dikehendaki, pecah, ukuran tidak memenuhi syarat, bercak-bercak harus dipisahkan.
· Lada hijau kering dapat dikemas dalam kantong-kantong plastik polyethene dengan kemasan 1-2 kg, dimana lada hijau kering akan mempunyai aroma dan rasa yang baik dalam jangka waktu lama, dapat sampai ± 3 tahun bila disimpan pada suhu 20-25º C terhindar dari cahaya dan kelembaban udara yang tinggi (http://www.pepper_india.com, 2010 dan http://www.paliabrother.net , 2010).
Pada pengolahan lada hijau kering dilakukan blanching, hal tersebut dilakukan disamping untuk membunuh mikroorganisme dan menghambat aktivitas enzim polifenolase, juga bertujuan untuk menghambat aktivitas enzim peroksidase, yaitu enzim yang dapat menimbulkan bau yang menyimpang (Buckle et al, 1989). Menurut Hidayat dan Risfaheri (1994) blancing yang optimum untuk buah lada adalah dalam air panas bersuhu 90-100º C selama 15–20 menit, mengingat pada suhu tersebut aktivitas enzim polifenolase maupun enzim peroksidase menjadi terhambat. Adapun untuk mencegah pelunakan buah lada selama dalam proses blanching dapat ditambahkan CaCl2 1% (Hidayat dan Risfaheri, 1994), hal tersebut senada dengan hasil penelitian Saldana dan Meyer (1981) yang menunjukkan bahwa perendaman buah lada dengan larutan CaCl2 dapat mempertahan tekstur alami buah lada.









Gambar 2. Bagan alir pengolahan lada hijau kering
STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI LADA HIJAU DI PETANI
Strategi subsistem sosialisasi prosesing produk lada hijau
Lada hijau adalah produk yang masih baru bagi petani lada, selama ini petani hanya mengenal lada butiran (lada hitam dan lada putih) dan lada bubuk. Oleh sebab itu produk lada hijau ini perlu disosialisasikan kepada petani, mulai dari cara panen sampai kepada prospek pasarnya. Selanjutnya petani yang memberikan respon baik dihimpun dan diberi pelatihan-pelatihan tentang cara memproses lada hijau. Pada kegiatan ini diperlukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Perkebunan dan Dinas Perindustrian untuk lebih menggiatkan sosialisasi penggunaan teknologi rekomendasi agar mutu produk yang dihasilkan nantinya dapat selalu dipertahankan.
Strategi subsistem pengolahan produk lada hijau
Strategi pada pengolahan produk lada hijau mencakup cara mempertahankan standar mutu produk, mulai dari tindakan-tindakan agronomis yang mempengaruhi produk lada hijau. Teknologi budidaya yang sesuai untuk penyediaan bahan baku lada hijau perlu disampaikan disamping stadar mutu produk tersebut. Petani tetap mengolah lada butiran (lada hitam atau lada putih), mengolah lada hijau merupakan produk diversifikasi untuk meningkatkan pemasaran dan harga.
Strategi subsistem kelembagaan
Petani yang berminat disatukan dalam klaster produksi lada hijau atau dibentuk kelompok-kelompok usaha bersama atau kelembagaan usaha agribisnis terpadu (KUAT) yang dilegal formilkan. Kelompok ini dibina oleh Dinas Perindustrian dengan penyediaan sarana dan prasarana produksi. Kelembagaan lain yang sudah ada bersama pemerintah daerah dapat mendorong pembentuk klaster produk lada hijau ini. Kelembagaan keuangan resmi dapat membantu dalam bentuk penyediaan modal dengan skim-skim kredit yang dapat digunakan oleh petani.
Strategi subsistem pemasaran
Strategi subsistem pemasaran dilakukan dengan meningkatkan intensitas informasi pasar melalui media yang dapat menjangkau petani. Negara-negara dengan tingkat konsumsi lada hijau yang tinggi berpeluang menjadi pasar lada hijau. Strateginya promosi pasar melalui kantor kedutaan maupun kelembagaan lain. Selain itu pemasaran dalam negeri tetap dilaksanakan, karena konsumsi dalam negeri juga masih rendah, apalagi konsumsi lada hijau yang baru dikenal.
Kebijakan pendukung operasional strategi
Kebijakan Badan Litbang Pertanian membentuk UKT (Unit Komersialisasi Teknologi) untuk mendukung kegiatan ini dapat dijadikan rintisan, karena dengan UKT tersebut Badan Litbang dapat berkecimpung langsung dalam sosialisasi teknologi dalam usaha pengembangan agribisnis lada hijau. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di daerah bersama dengan pemerintah daerah (Dinas Perindustrian) setempat dapat menjadi pelopor pembentukan klaster produsen lada hijau.
Pengembangan industri alat dan mesin yang sesuai dengan industri rumahan perlu didorong untuk menunjang pelaksanaan strategi pengembangan teknologi lada hijau ditingkat petani. Selain itu kebijakan untuk membantu penyediaan modal dalam bentuk skim kredit yang dapat diikuti oleh petani dan industri perakitan alat/mesin prosesing lada hijau.
KESIMPULAN
Prospek produk
Permintaan lada hijau dunia makin meningkat (10%/tahun) sedangkan pasokan Indonesia masih kecil, ini memberi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ladanya. Di dalam negeri lada hijau merupakan bahan konsumsi langsung yang baru, sehingga diharapkan kebutuhannya akan semakin bertambah. Bagi petani lada hijau merupakan diversifikasi produk lada yang akan memberikan peningkatan pendapatan, karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan lada hitam atau lada putih.
Ketersediaan/kesiapan teknologi
Teknologi pengolahan lada hijau untuk tingkat petani sudah cukup tersedia terutama untuk lada hijau dalam larutan garam dan lada hijau kering. Kedua produk ini dapat dikemas dalam botol dan dalam kantong-kantong plastik yang mudah untuk dipasarkan.
Strategi yang harus dilakukan untuk mempercepat pengembangan teknologi tersebut terdiri dari Strategi subsistem sosialisasi prosesing produk, Strategi subsistem pengolahan produk, dan Strategi subsistem pemasaran serta kebijakan untuk mendukung strategi untuk mempercepat pengembangan produk dan pemasarannya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2007. Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor. http://www.bi.go.id/ diakses tgl. 16 Juni 2009.
BPS, 2002. Statistik Perdagangan Luar Negeri : Ekspor . Badan Pusat Statistik. Jakarta
Buckle, K. A., Edwards R. A., Fleet G. H. and Wooton M. 1989. Foods Science (terjemahan). Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.
Ditjenbun, 2006. Statistik Perkebunan Indonesia, Lada. Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. 34p.
Djubaedah, E., E. S. Hartanto dan P. B. Wirajaya. 1994. Mempelajari Cara Pengolahan Lada Hijau Kering. Warta Akab No. 5 : 8-15.
Hidayat, T. dan Risfaheri. 1994. Pengaruh Kondisi Blanching dan Sulfitasi terhadap Mutu Lada Hijau Dehidrasi. Pemberitaan Littri Oktober 1993-Maret 1994. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. XIX(3-4) : 43-48.
http://www.tradeindia.com/. 2010. Green pepper in brine. Diakses tgl. 9 Maret 2010.
http://www.gama_mesin.com/. 2010. Cabinet dryer. Diakses tgl. 16 Pebruari 2010.
http://www.pepper_india.com/. 2010. Dehydrated green pepper. Diakses tgl. 9 Maret 2010.
http://www.vuatkerala.org/. 2008. Pepper. Diakses tgl. 16 Pebruari 2010.
http://www.saintmaryspices.com/. 2010. Green pepper in brine. Diakses tgl. 9 Maret 2010.
http://www.paliabrother.net/. 2010. Dehydrated green pepper. Diakses tgl. 9 Maret 2010.
http://www.peladang.sarawak.gov.my/. 2010. Sarawak Green Pepper in Brine. Diakses tgl. 9 Maret 2010.
Idris, D. K. E. dan N. Haryanto. 2007. Potensi dan Masalah Pemasaran Lada. Prosiding Seminar Nasional Rempah. Bogor, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 13-20.
International Pepper Community. 2009. Ekspor Lada Bergerak Naik. http://beritasore.com/ diakses tgl. 19 Juni 2009.
Kemala, S. 2006. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. 5(1) : 47-54.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. 315 p.
Mathew, A.G. 1993. Green Pepper and White Pepper. International Pepper New Bulletin . International Pepper Community. 17(3) : 10-13.
Murni, A. 1991. Pengaruh Lama Biomming dan Konsentrasi Larutan Garam Dapur terhadap Mutu Pikel Lada Hijau. Skripsi Fateta IPB, Bogor. 126 p.
Nurdjannah, N. 1996. Diversifikasi Hasil Lada. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Badan Litbang Pertanian. 222-234.
Nurdjannah, N. dan Hoerudin. 2008. Pengaruh Perendaman dalam Asam Organik dan Metoda Pengeringan terhadap Mutu Lada Hijau Kering. BulletinTanaman Rempah dan Obat, Bogor. 19(2) : 181 – 195.
Nurdjannah, N., T. Marwati, B. Sofiana S., Tjitjah Fatimah dan Abdul Gani. 1999. Penelitian Pengolahan Lada Hijau dalam Larutan Garam. Laporan Penyelesaian DIKS-DR Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tahun 1999/2000. 1-10.
Nurdjannah, N. dan Risfaheri. 1992. Pengolahan Lada Hijau dan Penyulingan Minyak Lada. Prosiding Temu Usaha Pengembangan Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jakarta, 2-3 Desember 1992. 138-144.
Parthasarathy, V. A., B. Chempakam and T. J. Zachariah. 2008. Chemistry of Spices. CAB International, Wallingford, Oxfordshire, UK. 445 p.
Peter, K. V. 2003. Handbook of Herbs and Spices. Woodhead Publishing Limited, Cambride, England. 640 p.
Pruthi. 1992. Advance in Sun/Solar Drying and Dehydration of Pepper (Piper nigrum L.). International Pepper Community Bulletin 16 (4) : 6 – 17.
Risfaheri dan M. P. Laksamanahardja. 1992. Studi Pendahuluan Pembuatan Lada Hijau. Buletin Littri No.4 September 1992. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 17-21.
Saldana, G. and R. Meyer. 1981. Effects of Added Calcium on Texture and Quality of Canned Jalapeno Peppers. Institute of Food Tchnologists, Texas.
Variyar, P. S., M. B. Penddaharkar, A. Banerje and C. Bandyopadhyay. 1988. Blackening in Green Pepper Berrier. Phytochemistry 27 (3) : 715 – 717.
Vergeshe, J. 1991. Add a Tough of Green. International Pepper Community Bulletin 15 (4) : 9 – 11.
Vergeshe, J. 1992. Light on Dehydrated Green Pepper. International Pepper Community Bulletin 16 (1) : 28 – 38.
Yanti, L dan N. Nurdjannah. 1997. Pengolahan Lada Hijau dan Peluang Pengembangannya. Jurnal Litbang Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. XVI(2) : 49-52.
Widaningrum dan Tri Marwati. 2007. Pengaruh Larutan Pengawet dan Cara Sterilisasi Terhadap Sifat Fisik, Kimia, Mikrobiologi serta Sifat Organoleptik Produk Lada Hijau dalam Larutan Garam. Jurnal Pascapanen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 4(1) : 44-56.
Winarno, F. G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Winarti, C. dan N. Nurdjannah. 2007. Teknologi Pengolahan Lada Putih dan Hitam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 44p.